Mei 2025

Main Posts Background Image

Main Posts Background Image

Rabu, 21 Mei 2025

BPD 6 Desa di Sigi Dilatih Wujudkan Desa Inklusif

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk dalam penguatan kelembagaan desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sebagai representasi masyarakat, BPD memiliki peran strategis dalam perencanaan, pengawasan, dan pengambilan keputusan di tingkat desa. Namun, dalam praktiknya, BPD masih menghadapi tantangan, seperti minimnya pemahaman politik, kurangnya kapasitas kelembagaan, dan keterbatasan sumber daya. Padahal, pembangunan desa seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan berkelanjutan, termasuk melibatkan seluruh unsur warga tanpa diskriminasi gender.

Salah satu aspek penting dalam pembangunan desa adalah pelibatan aktif masyarakat melalui Musyawarah Desa. Forum ini semestinya inklusif, menjamin keterlibatan perempuan, pemuda, dan kelompok rentan lainnya. Oleh karena itu, penting untuk mendorong sistem perencanaan dan penganggaran desa yang responsif gender—yakni proses yang mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, dan aspirasi baik laki-laki maupun perempuan secara setara. Pendekatan ini akan melahirkan kebijakan dan program yang lebih adil serta berkontribusi pada terciptanya tata kelola desa yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.

Sebagai bagian dari upaya penguatan kapasitas BPD, Karsa Institute bersama Yayasan CARE Peduli (YCP) melalui program We Nexus menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) dengan fokus pada “Perencanaan Inklusif dan Penganggaran Responsif Gender.” Kegiatan ini dilaksanakan pada 8–9 Mei 2025 di Hotel Khas Palu, diikuti oleh BPD, pemerintah desa, kelompok perempuan, dan perwakilan pemuda dari enam desa dampingan Karsa Institute di Kabupaten Sigi. Pelatihan ini dirancang dengan metode partisipatif: presentasi, diskusi, simulasi, hingga penyusunan rencana tindak lanjut implementasi anggaran responsif gender (ARG) di masing-masing desa.

Tujuan utama kegiatan ini adalah agar BPD memahami peran dan fungsinya secara utuh, serta mampu membangun sinergi dengan kelompok perempuan dan pemerintah desa dalam menyusun dan mengawal penganggaran desa yang lebih adil. Materi yang disampaikan mencakup kerangka hukum BPD, sistem perencanaan desa, tata kelola musyawarah desa yang inklusif, dan pengantar ARG. Pelatihan juga memberikan ruang refleksi dan pembelajaran praktis guna memperkuat kapasitas peserta sebagai agen perubahan di tingkat desa.

Diharapkan, kegiatan ini menjadi tonggak awal bagi terciptanya pemerintahan desa yang tidak hanya efektif, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan seluruh warganya, termasuk perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Melalui peningkatan pemahaman dan kapasitas BPD, serta adanya komitmen bersama antar pemangku kepentingan desa, pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan dapat diwujudkan secara nyata.*Karins








Minggu, 11 Mei 2025

Langkah Sigi: Pengakuan Masyarakat Hukum Adat

 

Pemerintah Kabupaten Sigi secara resmi mengakui Desa Banasu dan Desa Pelempea di Kecamatan Pipikoro sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui Surat Keputusan Bupati Sigi No. 100.3-159 dan 100.3-160 Tahun 2025. Pengakuan ini merupakan hasil dari upaya masyarakat desa yang ingin melindungi wilayah adat dan sumber daya alam mereka berdasarkan hukum adat dan kearifan lokal. Langkah ini juga menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Proses pengakuan ini dimulai sejak 2024 dengan dukungan dari KARSA Institute melalui program ESTUNGKARA yang bekerja sama dengan Kemitraan. Program ini bertujuan untuk mendampingi dan mengadvokasi pengakuan masyarakat hukum adat. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Sigi, Mohammad Ambar Mahmud, menyatakan bahwa pemerintah akan terus memfasilitasi pengusulan dari masyarakat wilayah adat yang memenuhi kriteria. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendamping dianggap penting untuk mewujudkan perlindungan dan keberlanjutan ekosistem berbasis kearifan lokal.
Kepala Desa Pelempea, Vander Vein, menyambut baik terbitnya SK tersebut, yang memperkuat posisi pemerintah desa dan masyarakat adat dalam mengelola wilayah dan sumber daya alam secara tradisional. Demikian pula, Kepala Desa Banasu, Edwin, mengungkapkan bahwa pengakuan ini penting untuk menjaga eksistensi warisan leluhur dan melindungi lingkungan desa dari ancaman kerusakan. Wilayah adat Desa Banasu memiliki luas 5.989,12 hektar, sementara Desa Pelempea memiliki wilayah adat seluas 2.588,45 hektar.

Manager Program ESTUNGKARA, Desmon, menekankan bahwa pengakuan wilayah hutan adat merupakan penghargaan terhadap hak masyarakat adat serta peran mereka dalam menjaga keberlangsungan ekosistem hutan. Ia juga mengapresiasi dukungan pemerintah yang mempercepat proses penerbitan keputusan tersebut. Pengakuan ini tidak hanya penting bagi masyarakat adat, tetapi juga untuk keberlanjutan lingkungan dan pembangunan daerah secara keseluruhan.

Dengan pengakuan resmi ini, Desa Banasu dan Pelempea bergabung dengan lima kawasan hutan adat lainnya di Kabupaten Sigi yang telah mendapatkan pengakuan sebelumnya. Langkah ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain untuk mengikuti jejak serupa dalam melindungi lingkungan dan memperkuat hak-hak masyarakat adat. KARSA Institute dan pemerintah daerah berkomitmen untuk terus mendukung proses ini demi masa depan yang berkelanjutan. *Karins

Merajut Damai di Sigi: Sinergi Cegah Konflik Sosial

 

Pada Rabu, 7 Mei 2025, Karsa Institute bersama Yayasan CARE Peduli menggelar Sarasehan Pembangunan Perdamaian di Hotel Khas, Kota Palu. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program WE Nexus, yang bertujuan meningkatkan ketangguhan masyarakat, khususnya perempuan dan pemuda, melalui pendekatan terpadu antara pembangunan kemanusiaan dan perdamaian. Program ini telah diterapkan di enam desa di Kabupaten Sigi: Rarapadende, Pesaku, Wisolo, Ramba, Ngatabaru, dan Pombewe.

Dalam sambutannya, Syaiful Taslim dari Karsa-YCP menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menciptakan ketahanan sosial, terutama di daerah yang rentan terhadap konflik. Muhamad Marzuki menambahkan bahwa konflik sosial di Sigi seringkali dipicu oleh perbedaan administratif, meskipun masyarakat yang berseteru memiliki banyak kesamaan dalam suku, agama, budaya, dan pekerjaan.

Sarasehan ini juga menghadirkan diskusi mendalam tentang penyebab, pola, dan solusi konflik sosial. Para peserta yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, akademisi, tokoh adat, hingga camat aktif menyumbangkan pandangan. Diskusi berkembang menjadi ruang perumusan rencana aksi bersama, yang mencakup penguatan koordinasi antarinstansi dan pentingnya pendekatan dialog serta mediasi untuk memetakan akar dan aktor dalam proses penyelesaian konflik.

Camat Dolo Barat, Ali Nurdin S.Sos, memberikan apresiasi atas pelaksanaan kegiatan ini. Ia menyatakan bahwa adanya pencerahan dari akademisi membuka perspektif baru dalam memahami dinamika penyelesaian konflik sosial. Ia berharap pemerintah daerah melalui dinas terkait dapat memberikan perhatian khusus terhadap fase penyelesaian konflik dan fase pasca-konflik agar masyarakat tidak kembali terjebak dalam siklus kekerasan yang sama. "Harapan saya, hari ini kita bertemu di sini, rencana tindak lanjutnya terlebih dahulu kita fokus melakukan pencerahan pada Kecamatan Dolo Barat, khususnya Desa Pesaku dan Desa Rarapadende yang baru selesai berkonflik," ujarnya.

Sebagai langkah konkret, kegiatan ini menghasilkan sejumlah tindak lanjut penting, seperti rencana studi konflik sosial di wilayah Sigi, pembentukan Forum Kewaspadaan Dini, dan pengembangan program pendidikan perdamaian untuk generasi muda. Sarasehan ini menjadi pengingat bahwa perdamaian bukan hanya hasil dari upaya jangka pendek, melainkan proses berkelanjutan yang membutuhkan keterlibatan semua pihak. *Karins


Error 404

The page you were looking for, could not be found. You may have typed the address incorrectly or you may have used an outdated link.

Go to Homepage
Karsa Institute (KARSA Inisiatif Timur Indonesia) | |