
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk dalam penguatan kelembagaan desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sebagai representasi masyarakat, BPD memiliki peran strategis dalam perencanaan, pengawasan, dan pengambilan keputusan di tingkat desa. Namun, dalam praktiknya, BPD masih menghadapi tantangan, seperti minimnya pemahaman politik, kurangnya kapasitas kelembagaan, dan keterbatasan sumber daya. Padahal, pembangunan desa seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan berkelanjutan, termasuk melibatkan seluruh unsur warga tanpa diskriminasi gender.

Salah satu aspek penting dalam pembangunan desa adalah pelibatan aktif masyarakat melalui Musyawarah Desa. Forum ini semestinya inklusif, menjamin keterlibatan perempuan, pemuda, dan kelompok rentan lainnya. Oleh karena itu, penting untuk mendorong sistem perencanaan dan penganggaran desa yang responsif gender—yakni proses yang mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, dan aspirasi baik laki-laki maupun perempuan secara setara. Pendekatan ini akan melahirkan kebijakan dan program yang lebih adil serta berkontribusi pada terciptanya tata kelola desa yang partisipatif, transparan, dan akuntabel.

Sebagai bagian dari upaya penguatan kapasitas BPD, Karsa Institute bersama Yayasan CARE Peduli (YCP) melalui program We Nexus menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) dengan fokus pada “Perencanaan Inklusif dan Penganggaran Responsif Gender.” Kegiatan ini dilaksanakan pada 8–9 Mei 2025 di Hotel Khas Palu, diikuti oleh BPD, pemerintah desa, kelompok perempuan, dan perwakilan pemuda dari enam desa dampingan Karsa Institute di Kabupaten Sigi. Pelatihan ini dirancang dengan metode partisipatif: presentasi, diskusi, simulasi, hingga penyusunan rencana tindak lanjut implementasi anggaran responsif gender (ARG) di masing-masing desa.

Tujuan utama kegiatan ini adalah agar BPD memahami peran dan fungsinya secara utuh, serta mampu membangun sinergi dengan kelompok perempuan dan pemerintah desa dalam menyusun dan mengawal penganggaran desa yang lebih adil. Materi yang disampaikan mencakup kerangka hukum BPD, sistem perencanaan desa, tata kelola musyawarah desa yang inklusif, dan pengantar ARG. Pelatihan juga memberikan ruang refleksi dan pembelajaran praktis guna memperkuat kapasitas peserta sebagai agen perubahan di tingkat desa.

Diharapkan, kegiatan ini menjadi tonggak awal bagi terciptanya pemerintahan desa yang tidak hanya efektif, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan seluruh warganya, termasuk perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Melalui peningkatan pemahaman dan kapasitas BPD, serta adanya komitmen bersama antar pemangku kepentingan desa, pembangunan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan dapat diwujudkan secara nyata.*Karins