
Tersembunyi di dataran tinggi Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Desa Peana dulunya dikenal sebagai desa terpencil dengan akses yang terbatas dan pembangunan yang terfokus pada infrastruktur fisik semata. Namun dalam beberapa tahun terakhir, wajah Peana mulai berubah. Tidak hanya membangun jalan dan jembatan, desa ini kini juga membangun kesadaran sosial dan keadilan inklusif untuk semua warganya.
Perubahan ini tidak datang begitu saja. Ia tumbuh dari kolaborasi erat antara pemerintah desa, masyarakat dan Program ESTUNGKARA yang dilakukan KARSA INSTITUTE, melalui Program INKLUSI dan Kemitraan Partnership. Pendekatan yang digunakan tidak lagi sekadar teknokratis, tetapi menempatkan manusia dan hak-haknya sebagai pusat pembangunan.
Dahulu, pengelolaan Dana Desa di Peana sebagian besar diarahkan untuk pembangunan umum tanpa secara khusus menyasar kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Namun sejak pendampingan KARSA melalui program ESTUNGKARA, paradigma pembangunan mulai bergeser.
Melalui pelatihan dan dialog yang mengangkat perspektif GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial), pemerintah desa, tokoh adat, tokoh perempuan, dan masyarakat mulai memahami pentingnya membangun desa untuk semua, bukan hanya untuk yang kuat dan dominan. Beberapa inisiatif kunci yang dilakukan meliputi:
- Pelatihan GEDSI untuk aparatur desa dan tokoh masyarakat.
- Penguatan kapasitas BPD dalam menyusun regulasi desa yang berkeadilan.
- Pembentukan Forum Perempuan sebagai ruang aspirasi dan pengambilan keputusan.
- Penyusunan RPJMDes yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan, termasuk dengan melibatkan perwakilan penyandang disabilitas secara aktif sebagai bagian dari tim penyusun dokumen RPJMDes. Langkah ini menjamin bahwa perspektif dan kebutuhan disabilitas tidak lagi terpinggirkan dalam perencanaan pembangunan.
- Penyusunan RPJMDes yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan.
- Pelaksanaan musyawarah khusus perempuan untuk menjamin partisipasi setara.
- Penyelenggaraan forum khusus untuk mendengarkan suara anak-anak, yang dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kreatif seperti menggambar, bercerita, dan diskusi kelompok kecil yang difasilitasi oleh kader desa. Suara dan mimpi anak-anak ini kemudian dirangkum dan menjadi bagian dari dokumen perencanaan desa sebagai bahan pertimbangan dalam merancang program ramah anak.


Komitmen terhadap inklusifitas di Desa Peana tidak hanya berhenti pada wacana. Sejumlah kebijakan nyata mulai diterapkan dan memberi dampak langsung kepada masyarakat, di antaranya:
- Pengalokasian Dana Desa untuk program anak dan remaja.
- Pengadaan alat bantu bagi kelompok rentan dalam APBDes 2025.
- Program makanan tambahan bagi balita dan lansia yang berjalan sejak 2019 melalui Perdes Inklusi.
- Pemberdayaan kelompok disabilitas melalui pengadaan mesin molen untuk usaha penyewaan alat bangunan.
- Bantuan bibit ikan bagi kelompok perempuan untuk mendukung ketahanan pangan dan ekonomi rumah tangga.
- Alokasi anggaran khusus: Rp 12 juta per tahun untuk balita dan Rp 9,6 juta untuk lansia.
- Pemberian insentif transportasi untuk lembaga adat dalam melaksanakan tugas di luar desa.
Salah satu pencapaian monumental Desa Peana adalah pembangunan kembali Gereja Bala Keselamatan (BK) Korps Peana pasca-gempa dan likuifaksi. Pembangunan gereja dilakukan melalui musyawarah lintas kelompok dan hasilnya adalah rumah ibadah yang ramah bagi semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas dan ibu-ibu yang membawa anak kecil.

Beberapa fasilitas inklusif yang telah dibangun meliputi:
- Jalan landai untuk kursi roda.
- Ruang penitipan bayi agar ibu dapat beribadah dengan nyaman.
- Rencana pembangunan ruang laktasi bagi ibu menyusui.
Gereja ini bukan sekadar tempat ibadah, tapi menjadi simbol semangat baru Desa Peana dalam menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai fondasi pembangunan.
Perubahan yang terjadi di Peana juga dijiwai oleh kearifan lokal. Warga memegang filosofi “Mome Poka Ahi” sebuah ungkapan dalam bahasa Uma yang berarti “saling mengasihi.” Slogan ini bukan sekadar hiasan dinding atau spanduk, tetapi menjadi semangat kolektif dalam membangun desa yang ramah bagi semua.
Dalam setiap langkah pembangunan, masyarakat dan pemerintah desa kini berupaya memastikan bahwa tidak ada satu pun warga yang tertinggal termasuk suara anak yang selama ini tidak terdengar suaranya.
Cerita perubahan Desa Peana menunjukkan bahwa dengan pendampingan yang tepat, keterlibatan aktif masyarakat, dan kebijakan yang berpihak, desa-desa terpencil pun bisa menjadi pelopor pembangunan yang inklusif dan berkeadilan sosial.
Desa Peana kini tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga menapaki jalan perubahan yang memanusiakan semua warganya. Sebuah pembuktian bahwa keadilan sosial bukanlah kemewahan bagi desa maju, tetapi hak dasar bagi seluruh desa di Indonesia.*Florensius