
Di jantung Sulawesi Tengah, berdiri salah satu desa kecil bernama Banasu, yang berada di Dataran Tinggi Pipikoro, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi. Terisolir oleh medan yang berat, akses yang terbatas, dan minimnya fasilitas, desa ini selama bertahun-tahun seakan menjadi bagian dari Indonesia yang nyaris tak terdengar. Di tengah segala keterbatasan itu, lahir sebuah kisah perubahan yang menggugah tentang keberpihakan, kesadaran, dan keberanian melawan arus kebijakan yang sudah dianggap lazim.
Pembangunan bukan hanya soal Beton dan Rabat Jalan
Dalam konteks desa-desa terisolir seperti Banasu, dana desa umumnya diprioritaskan untuk infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, atau bangunan desa. Aksesibilitas dianggap sebagai kunci utama membuka keterisolasian. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar konektivitas yaitu kemanusiaan dan keberpihakan pada kelompok rentan.
Tahun anggaran 2025, Kepala Desa Banasu mengambil langkah yang berbeda. Dari hasil diskusi dan proses refleksi bersama masyarakat, terutama setelah mengikuti kegiatan yang didorong oleh Program ESTUNGKARA, yang memperkuat integrasi nilai-nilai GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) dalam konteks masyarakat adat, muncul sebuah kesadaran baru bahwa penyandang disabilitas juga berhak untuk "diakses" oleh pembangunan.
Perubahan paradigma yang berangkat dari Dialog
Melalui serangkaian diskusi non-formal bersama Fasilitator ESTUNGKARA, tokoh adat, kader desa, dan kelompok perempuan, pemdes Banasu mulai membuka ruang untuk mendengarkan suara mereka yang selama ini nyaris tak terdengar khususnya para penyandang disabilitas.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Program ESTUNGKARA yang kemudian data ini yang digunakan oleh Pemerintah Desa sebagai dasar untuk mengintervensi Penyandang disabilitas. Di Desa Banasu, tercatat ada 19 orang penyandang disabilitas. Sebagian besar dari mereka adalah lansia dan anak-anak muda yang mengalami hambatan fisik dan sensorik, namun belum pernah mendapatkan perhatian khusus dari kebijakan desa.
Maka, pada musyawarah desa, Kepala Desa Banasu dengan penuh keyakinan mengusulkan alokasi dana desa untuk pengadaan alat bantu disabilitas berupa, kursi roda, tongkat, dan alat bantu dengar. Usulan ini pada awalnya sempat menimbulkan perdebatan, sebagian warga masih berpikir bahwa kebutuhan dasar desa adalah jalan yang bisa dilalui kendaraan, bukan kursi roda.
Namun, melalui pendekatan yang inklusif dan penjelasan yang persuasif tentang pentingnya pembangunan yang adil dan merata, paradigma mulai berubah. Warga mulai melihat bahwa membangun desa bukan hanya tentang fisik, tapi juga tentang nilai dan martabat manusia.
Dampak terasa, harapan terbit
Kini, 19 warga penyandang disabilitas di Banasu tidak lagi hanya menjadi penonton dari pembangunan. Mereka kini bisa bergerak lebih mandiri, bisa mendengar lebih jelas, dan yang paling penting, mereka merasa diakui dan dihargai sebagai bagian penting dari komunitas.

Ini bukan sekadar pemberian alat bantu, ini adalah soal pengakuan terhadap hak-hak kelompok rentan. Kepala Desa Banasu telah menanamkan benih perubahan yang bisa jadi akan tumbuh menjadi pohon yang rindang yang akan menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di kawasan terpencil Pipikoro untuk memulai pembangunan dari mereka yang paling rentan.
Kisah dari dataran tinggi Pipikoro ini adalah pengingat bahwa keadilan sosial bisa lahir dari desa, dan bahwa perubahan besar kadang dimulai dari langkah kecil yang berani dan penuh empati.*Florensius