Duka di Kaki Taman Nasional Lore Lindu

Main Posts Background Image

Main Posts Background Image

Sabtu, 10 Juni 2023

Duka di Kaki Taman Nasional Lore Lindu



USAI BERISTIRAHAT DI desa Lempelero, Kecamatan Kulawi Selatan, kini jam menunjukkan pukul 12.00 WITA lewat. Sambil berlindung dari terik matahari yang membakar kulit, kami bersantap siang di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Meski bangunannya hanya bedeng sederhana, ini adalah warung terlengkap yang kami temui dalam perjalanan sejauh 97 kilometer dari Kota Palu menuju Desa Moa.
    Warung berlantai tanah ini menyediakan dua buah bangku kayu saling berhadapan yang panjangnya tidak lebih dari satu meter. Di antara dua bangku lusuh itu terdapat sebuah meja, di atasnya tersedia berbagai lauk dan jajanan, termasuk telur rebus dan saus tomat dalam botol.
    Rasa capek karena perjalanan membuat kami melahap nasi seperti orang kelaparan. Sebakul nasi tandas dalam waktu cepat di tangan kami berempat. Hidangan sederhana, berupa nasi kuning dengan lauk telur rebus itu berhasil memulihkan energiku yang terkuras nyaris habis. Segelas kopi susu dan sebotol air putih melengkapi kenikmatan siang itu.
    Setelah merasa cukup kenyang, kami pun mulai bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Tas punggung yang tadi aku turunkan kembali aku ikat di atas motor. Karena isinya berbagai macam perlengkapan, beratnya hampir separuh berat orang dewasa. Cukup berat untuk motorku, bebek 110 cc, yang sudah menanggung beban badanku yang tak bisa dibilang ringan.
    Setelah barang-barang siap, kami segera memacu motor melanjutkan perjalanan menuju Moa. Moa adalah tujuan akhir kami, sebuah desa terpencil yang terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Perjalanan masih sekitar 24 kilometer lagi dengan medan yang tak mudah. Sebagaimana kondisi alam Kalimantan Tengah pada umumnya, Kabupaten Sigi juga demikian. Hanya jalan lintas utama saja yang bagus, jalan-jalan lainnya tidak begitu bagus kondisinya.
    Dalam hati terbesit rasa khawatir, terutama setelah mendapat peringatan dari tukang ojek yang kami temui sebelumnya, agar kami berhati-hati. Ia mengingatkan, kondisi jalan akan sangat sulit karena sudah hampir seminggu terakhir diguyur hujan setiap pagi. Terpeleset, melintir, dan jatuh adalah risiko yang lazim bagi pemotor pada musim seperti ini.
    Selama satu jam pertama, perjalanan lancar tanpa hambatan. Tantangan pertama datang saat kami memasuki penyeberangan jembatan gantung pertama di desa Moa. Aku berhenti dalam antrean yang kurang tertib. Tak ada polisi atau seseorang yang mengatur antrean sehingga jembatan gantung sungai Kababuru yang tidak dapat dipakai bersimpangan itu tidak terbagi rata waktunya bagi kendaraan dari kedua arah.


    Saat ini lalu lintas tergolong lancar daripada jam-jam pagi atau sore. Aku melihat solidaritas antar sesama tukang ojek yang saling menopang dan saling membantu dengan cara merapatkan kedua kendaraan mereka laksana kendaraan roda empat. Mereka saling merapat agar jangan sampai ada yang terpeleset jatuh ke dalam sungai Kababuru. Hal ini dilakukan karena kondisi jembatan ini sangat memprihatinkan. Papan landasannya banyak yang sudah rusak. Belum lagi kawat jembatan yang sudah berkarat membuat siapa pun yang melewati jembatan harus meningkatkan kadar keimanannya setinggi mungkin.
    Jantungku berdegup kencang ketika mendapat giliran memasuki jembatan bergoyang ini. Entah dari mana, tukang ojek di belakang tahu hal itu. “Pak tancap saja gasnya, usahakan ikut patokan papan yang ada di tengahnya,” teriaknya dari belakang.
    Aku terdiam meskipun kata-katanya terdengar jelas di telinga. Pikiran dan pandanganku tertuju penuh pada jalur bambu sepanjang dua puluh lima meter yang dilapisi papan di tengahnya itu. Kondisinya yang jauh dari layak membuatku merinding. Di sana-sini banyak bagian papan yang rusak. Papan pelapis atas hanya dipaku sekadarnya di atas bambu dan sudah terlihat lapuk serta berlubang-lubang.
    Seling utama jembatan ini berupa kawat yang tidak seberapa besar. Menurutku beban maksimal yang bisa ditanggungnya tak lebih dari satu ton. Itu pun kalau kawat selingnya dalam kondisi baru. Yang ini, mencapai setengah dari kapasitas saja sudah bagus.
Jembatan ini tidak solid dan sedikit bergoyang ketika dilewati sepeda motor. Sedikit saja kesalahan, motor dan penunggangnya pasti sudah terbanting ke dasar sungai yang berbatu-batu itu.


    Setelah mengumpulkan keberanian, aku memutar gas motor pelan-pelan sesuai dengan aba-aba si tukang ojek. Muatan yang aku ikat di jok belakang membuat motor menjadi kurang stabil. Seandainya ada pilihan lain, mungkin aku rela memutar melalui jalan yang lebih jauh. Tetapi itu mustahil, aku hanya bagian dari rombongan yang ingin cepat sampai tujuan. Maka segala ketakutan aku telan dahulu.


    Dalam beberapa kejap aku telah sampai di ujung jembatan gantung tua itu. Perasaan lega langsung merasuki seluruh dadaku seperti baru lepas dari jembatan shiratal mustaqim. Setelah turun dari kayu di ujung jembatan baru aku sadar sepenuhnya, ternyata baru saja aku mempertaruhkan nyawa untuk menempuh jarak 25 meter ini.
    Namun masyarakat sini bisa melakukannya dengan bersiul-siul. Tukang ojek di depanku memuat semen dua sak ditambah barang-barang campuran yang menumpuk setinggi bukit sampai menutupi pengendaranya.
    Lepas dari jembatan primitif itu bukan berarti masalah selesai. Badan jalan menyempit hingga setengahnya, dengan tetap tidak beraspal dan berlubang-lubang sedalam kubangan kerbau. Laju motor jadi melambat dan sering mengerem karena kami berkonvoi.
    Sesekali aku juga harus menurunkan kaki dari pijakan motor untuk menopang stabilitas kendaraan saat bermanuver menghindari lubang-lubang berlumpur dan batu padas. Kondisi jalan seperti ini terus kami lahap sampai satu jam berikutnya. Kami semakin masuk jauh ke dalam kawasan hutan rimba Taman Nasional Lore Lindu.
    Terdengar bunyi gemuruh air terjun membalut suara serangga hutan yang riuh bernyanyi. Jalanan mulai mendekati aliran sungai Lariang yang airnya jernih berbatu-batu. Sungai Lariang ini membelah tiga kabupaten yaitu Poso (Sulawesi Tengah), Sigi (Sulawesi Tengah) dan Mamuju Utara (Sulawesi Barat). Dialah sungai terpanjang di daratan Sulawesi.
    Saat matahari sudah turun ke ufuk barat, hari sudah sore meskipun langit tampak masih terang. Kami pun tiba di desa Moa dan langsung menuju rumah kepala desa. Keramahan khas pedesaan langsung menyambut kedatangan kami. 
    Wajah sumringah Pak Yohanis, kepala desa Moa, menjadi pengobat penat kami setelah tiga jam berpacu melawan jalanan hancur, jalan setapak yang licin, medan terjal, berliku, dan ditingkahi jurang-jurang menganga di sisinya. 
    Secangkir kopi hangat membuka pembicaraan hangat kami sore itu dengan tuan rumah yang tak kalah hangatnya. Saat obrolan tengah asyik berlangsung antara kami dengan Yohanis, aku masih belum berhenti mengagumi daerah ini. Alam Indonesia memang indah luar biasa, ini semua adalah anugerah Tuhan yang tak pernah kita pikirkan nilainya.
    Aku melempar pandangan keluar, pada serombongan ibu-ibu yang pulang dari kebun sambil bersenda gurau melintasi jalan setapak di sisi rumah Pak Kepala Desa. Hasil kebun, seperti sayuran dan buah tampak di bakul yang digendong di punggung masing-masing. Pada bakul yang sama terselip ranting-ranting kayu kering, mungkin akan digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak.
    Pemandangan ini sangat eksotis bagiku. Mengingatkan pada kampung halamanku pada masa silam, sebelum bangunan bangunan modern dan mesin-mesin mengubah daerah kami menjadi kota-kota hedonis yang materialistik dan tidak berjiwa. Masyarakat yang mengatakan dirinya modern mengukur kesuksesan dengan uang dan mengukur persahabatan dengan kepentingan.
    Sampai malam tiba, lamunanku melayang jauh ke masa lalu. Sebenarnya aku ingin berkeliling di desa yang alami dan remang-remang ini, tetapi cuaca sepertinya kurang bersahabat. Benar kata tukang ojek tadi, hujan sedang rajin mengguyur daerah ini dalam seminggu terakhir. Dalam keadaan seperti ini tidak ada yang dapat aku lakukan kecuali hanya duduk di teras rumah ditemani pelita sederhana dari kaleng susu.
    Namun itu cukup menghiburku. Alam indah, tanah yang subur, kehidupan yang tidak materialistik, adalah tatanan sosial yang sempurna. Manusia tidak memerlukan gaya hidup modern yang pada akhirnya cenderung eksploitatif antar sesama. Di sini warga hidup setara dan saling menghormati. Mereka bersyukur dengan hasil usaha masing-masing dan menikmatinya. Mereka tidak kenal bank, leasing, kartu kredit, dan segala gaya kemewahan artifisial lainnya. Semuanya serba alami.
    “Listrik di desa Moa sudah ada, tetapi saat ini sedang gangguan,” ucap Pak Yohanis membuyarkan lamunanku. Menurut Pak Yohanis, gangguan listrik bukan barang langka di sini, terutama saat cuaca hujan. Beberapa hari yang lalu, kata Pak Yohanis, curah hujan yang tinggi mengakibatkan debit air di Kali Moa meningkat tajam.
    Tingginya volume air sampai membanjiri pipa dalam sistem turbin sehingga merusak dinamo pembangkit listrik. “Tetapi kemarin sudah ada petugas dari kota yang turun untuk memperbaiki,” hibur Pak Yohanis. Menurut perkiraan, dalam waktu dua pekan listrik desa akan kembali menyala. by Desmon, Karsa Institute.

Artikel ini diambil dari Buku Cerita Dari Negeri Inklusi yang ditulis oleh Alexander Mering, dkk, Desember 2018 yang diprakarsai oleh Program Peduli dan Kemitraan Partnership.



Error 404

The page you were looking for, could not be found. You may have typed the address incorrectly or you may have used an outdated link.

Go to Homepage
Dirgahayu ke 20 Tahun Karsa Institute (KARSA Inisiatif Timur Indonesia) | |