
Di banyak ruang pertemuan desa, suara perempuan kerap tenggelam dalam diam. Bukan karena mereka tak punya pengalaman atau kebutuhan, tetapi karena rasa malu, takut salah, dan keyakinan bahwa pendapat mereka tidak cukup penting untuk didengar. Itulah realitas yang lama dirasakan perempuan di Desa Pesaku, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi—termasuk Ibu Supriatin, seorang perempuan desa yang selama bertahun-tahun memilih menyimpan suaranya sendiri.

Sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) perwakilan kelompok perempuan, Ibu Supriatin sesungguhnya memahami berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dan anak di lingkungannya. Namun dalam setiap forum desa, ia lebih sering diam. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena tidak percaya diri berbicara di hadapan banyak orang. Kebutuhan perempuan pun kerap terabaikan, karena minimnya keterlibatan mereka dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
Perubahan mulai terasa ketika Program WE NEXUS hadir melalui pendampingan dan pelatihan yang difasilitasi Karsa Institute. Pelatihan ini tidak hanya membahas isu perlindungan perempuan dan anak, kebencanaan, serta ketangguhan menghadapi konflik, tetapi juga membuka ruang aman bagi perempuan untuk belajar bersuara. Di ruang yang bebas dari penilaian, Ibu Supriatin perlahan menemukan keberanian untuk berbicara, berdiskusi, dan menyampaikan pendapatnya tanpa rasa takut.
Dari seorang perempuan yang pendiam, Ibu Supriatin bertransformasi menjadi sosok yang aktif menyuarakan kebutuhan perempuan dan anak di tingkat desa. Ia mulai berani menyampaikan isu perlindungan, mendorong pencegahan kekerasan, hingga melakukan negosiasi agar desa mengalokasikan anggaran untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kepercayaan dirinya tumbuh seiring kesadaran bahwa suaranya memiliki arti, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi banyak perempuan lainnya.

Puncak perubahan itu terlihat ketika Ibu Supriatin tampil sebagai pembicara dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang diselenggarakan UN Women di Kabupaten Sigi. Berdiri di hadapan lebih dari seratus peserta, ia menyampaikan pandangannya tentang hak dan perlindungan perempuan dan anak dengan penuh keyakinan. “Sejak mengikuti pelatihan, saya berani berbicara di depan banyak orang, termasuk di hadapan pemerintah desa,” ujarnya. Kisah Ibu Supriatin menjadi bukti bahwa ketika perempuan diberi ruang, dukungan, dan kepercayaan, keberanian mereka mampu mengubah bukan hanya diri sendiri—tetapi juga wajah desa yang lebih adil dan inklusif.*Tami