Jam
menunjukkan pukul 10.00 ketika kami beristirahat
di Desa Lempelero, Kecamatan Kulawi Selatan. Sambil berteduh dari terik mentari yang menyengat, kami makan
siang di sebuah
warung makan sederhana di pinggir jalan. Ini adalah warung terbaik yang kami
temui setelah menempuh jarak 97 kilometer dalam perjalanan dari Palu ke Desa
Moa, Kecamatan Kulawi Selatan.
Warung berlantai tanah ini, menyediakan dua bangku
kayu yang ukurannya tidak lebih dari satu meter. Sementara di tengahnya terdapat satu meja yang di atasnya terhidang telur
rebus dan botol saus tomat.
Rasa penat karena perjalanan jauh
membuat kami melahap nasi seperti orang kelaparan. Hanya dalam hitungan
menit, kami berempat menandaskan sebakul nasi. Hidangan sederhana, berupa nasi kuning dan telur rebus, itu
akhirnya
dapat memulihkan energi
saya yang nyaris terkuras habis. Segelas kopi susu dan sebotol air putihpun melengkapi kenikmatan saat itu.
Setelah beristirahat sejenak, kamipun mulai
bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Tas pungggung yang tadi saya turunkan kembali saya ikat di atas motor. diisi berbagai macam perlengkapan, beratnyapun
hampir separuh bobot orang dewasa.
Setelah
barang-barang siap, kami
segera memacu motor melanjutkan perjalanan menuju Desa Moa yang terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Di
depan kami, perjalanan masih sekitar dua puluh empat (24) kilometer lagi dengah medan yang tak mudah. Sebagaimana layaknya kondisi
alam Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi juga demikian; selain jalan lintas utama,
banyak jalan yang boleh dibilang jelek atau tidak begitu bagus kondisinya.
Dalam
hati sempat terbersit rasa khawatir, terutama setelah kami mendapat
peringatan dari tukang ojek yang kami temui sebelumnya, agar kami berhati-hati
karena menurutnya, kondisi jalan sangat sulit dan buruk karena sudah hampir seminggu diguyur
hujan. Terpeleset, melintir dan jatuh adalah risiko yang lazim
bagi pemotor pada musim seperti ini.
Selama satu jam pertama, perjalanan lancar tanpa hambatan. Tantangan pertama datang saat memasuki penyebrangan jembatan gantung pertama di desa Moa. Saya berhenti dalam antrean yang kurang tertib. Tak ada polisi atau seseorang yang mengatur antrean sehingga Jembatan Gantung Sungai Kababuru yang tidak bisa dilalui bersimpangan itu waktunya tidak terbagi rata bagi kendaraan dari kedua arah.
Ini sudah lumayan lancar. Di sini juga saya melihat solidaritas
dan kerjasama sesama tukang ojek, dalam menopang
dan membantu ojek lainnya supaya jangan
sampai ada yang terpeleset dan terjun ke dalam Sungai Kababuru. Hal ini
dilakukan karena kondisi jembatan yang cukup memprihatinkan. Papan landasannya,
banyak yang sudah rusak. Belum lagi kawat jembatan yang sudah berkarat membuat
siapapun yang melewati jembatan harus penuh dengan kewaspadaan.
Jantung saya berdegup kencang ketika mendapat giliran untuk memasuki jembatan bergoyang ini. Entah dari mana, tukang ojek di belakang tahu hal itu. “Pak tancap saja gasnya,
usahakan ikut patokan papan yang ada di tengahnya,”
teriaknya dari belakang.
Saya terdiam meskipun kata-katanya terdengar jelas di
telinga. Pikiran dan pandangan saya tertuju penuh pada jalur bambu sepanjang dua puluh lima
(25) meter yang dilapisi papan di tengahnya itu. Kondisinya
yang jauh dari layak membuat saya merinding. Di sana-sini banyak bagian yang rusak. Papan pelapis atasnya dipaku sekadarnya di atas bambu yang terlihat
sudah
lapuk dan berlubang-lubang.
Seling utama jembatan ini berupa kawat yang tidak
seberapa kuat, menurut saya beban maksimal yang bisa ditangungnya tak lebih
dari satu ton. Itupun kalau kawat selingnya dalam kondisi baru. Kalau yang ini,
mencapai setengahnya saja sudah bagus.
Jembatan ini tidak solid dan sedikit bergoyang ketika
dilewati sepeda motor. Sedikit saja kesalahan, motor dan badan saya pasti sudah
terbanting ke dasar sungai yang berbatu-batu itu. Setelah mengumpulkan
keberanian, sayapun
memutar gas motor pelan-pelan sesuai dengan aba-aba si tukang
ojek.
Muatan yang saya ikat di jok belakang membuat motor
menjadi kurang stabil. Seandainya ada pilihan lain, mungkin saya rela memutar
melalui jalan yang lebih jauh. Tetapi itu mustahil, saya hanya bagian dari
rombongan yang ingin cepat sampai tujuan. Maka segala ketakutan saya telan
dahulu.
Dalam beberapa kejap saya telah sampai di ujung jembatan
gantung tua itu. Perasaan lega langsung merasuki seluruh dada saya seperti baru
lepas dari jembatan “Sirotol Mustaqim.” Setelah turun dari kayu di ujung jembatan, baru saya
sadar sepenuhnya, ternyata baru saja saya mempertaruhkan nyawa untuk menempuh
jarak dua puluh lima meter ini.
Namun masyarakat di sini
bisa melakukannya sambil bersiul-siul. Tukang ojek di depan saya memuat semen
dua sak ditambah barang-barang campuran yang
menumpuk setinggi bukit sampai menutupi pengendarannya.
Lepas dari jembatan primitif itu
bukan berarti masalah selesai. Badan jalan ternyata menyempit dibandingkan sebelum melewati jembatan gantung tadi. Jalan
berlumpur, berlubang-lubang bahkan sedalam kubangan kerbau. Laju
motorpun harus
diperlambat dengan sering mengerem karena kami jalan berkonvoi.
Sesekali
saya juga harus menurunkan kaki dari pijakan motor untuk menopang stabilitas kendaraan saat bermanuver menghindari lubang-lubang
berlumpur dan batu cadas. Kondisi jalan seperti itu harus kami “nikmati” sampai satu
jam berikutnya. Kamipun
semakin jauh
masuk ke dalam
kawasan hutan
rimba Taman Nasional Lore Lindu.
Terdengar bunyi gemuruh air terjun yang berbaur dengan suara serangga hutan. Jalanan mulai mendekati
aliran sungai yang ternyata Sungai Lariang . Sungai Lariang adalah sungai
terpanjang di daratan Sulawesi dan
melewati tiga kabupaten yaitu Poso (Sulawesi Tengah), Sigi (Sulawesi
Tengah) dan Mamuju Utara (Sulawesi Barat).
(Desmon)
Selama satu jam pertama, perjalanan lancar tanpa hambatan. Tantangan pertama datang saat memasuki penyebrangan jembatan gantung pertama di desa Moa. Saya berhenti dalam antrean yang kurang tertib. Tak ada polisi atau seseorang yang mengatur antrean sehingga Jembatan Gantung Sungai Kababuru yang tidak bisa dilalui bersimpangan itu waktunya tidak terbagi rata bagi kendaraan dari kedua arah.